header marita’s palace

Ibu; Semangat yang Tak Pernah Henti Meski Hidup Separuh Berhenti

“Klontang…”

Bunyi gaduh dari arah dapur diikuti jeritan pendek ibu membuatku tergeragap berdiri. Segera kuberlari ke arah dapur melihat apa yang terjadi. Tak kusangka ibu kutemukan dalam posisi telentang dengan susu bubuk yang telah mengotori seluruh tubuhnya. Kebingungan dan cemas jadi satu, yang aku tahu saat itu aku hanya harus menolong ibu. Malam itu satu per satu mimpi terbang dan hidup harus berjalan ke arah yang tak pernah direncanakan.

Itu memori singkatku tentang peristiwa penting yang terjadi di Salatiga, kota masa kecilku, kurang lebih 13 tahun yang lalu. Kesemutan yang sering dialami ibu, rasa kebas yang kerap datang menggerogoti tubuhnya ternyata mampu melumpuhkan seluruh tubuh. Satu demi satu dokter didatangi, juga berbagai tempat pengobatan alternatif disambangi, namun tak ada satupun yang sanggup mengembalikan kondisi ibu seperti sedia kala.

Ibuku, Pelita Hidupku
Endah Susilaningtyas, begitulah nama pemberian eyang kakung dan eyang putri untuk ibu. Sebuah nama yang cantik, secantik keinginan eyang untuk memiliki seorang putru yang berhati indah. Ibu bukanlah wanita yang sempurna. Saat pertama menerima ujian yang memaksanya harus menghentikan aktivitasnya sebagai guru di sekolah dasar, sebagai istri juga sebagai seorang ibu yang layak, dan harus menerima kondisi tak berdaya di atas pembaringan, ibu pernah seperti monster di hadapanku. Setiap hari amarah demi amarah menyeruak, merasa tak adil, dan marah pada keadaan. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, ibu bertekad apapun kondisinya, ia harus tetap kuat untuk kedua buah hatinya.

Ketika semangat itu tumbuh, ibu bermetamorfosa menjadi wanita yang luar biasa. Sejauh ini belum pernah kutemui wanita seikhlas dan setulus ibu. Dengan keadaannya, ia merelakan bapak menikah lagi, berbagi cinta dengan wanita yang usianya hampir sama dengan anak sulungnya, bahkan ikut momong anak-anak yang dilahirkan dari wanita tersebut. Dengan keadaannya yang seharusnya menjadi pusat perhatian, ia menerima kemarahanku karena memberikan ijin kepada  bapak menikah lagi. Ia membiarkanku keluar dari rumah dan mengukir impian di kota Lunpia,  kuliah dan memilih tinggal bersama eyang putri dan eyang kakung. Dengan segala keterbatasannya, ia mengikis segala egoisme dan keakuannya demi kebahagiaan orang-orang yang dicintainya. Dengan segala cinta kasihnya, ibu selalu mampu membuat bapak pulang ke rumah, doa ibu mengantarkanku menjadi wisudawan terbaik di kampusku, dan didikan ibu menjadikan adikku sebagai sosok yang mandiri karena sejak usia 8 tahun ia harus bisa mengurusi kebutuhannya sendiri. Ibu mungkin tak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain, namun wejangan dan petuahnya selalu bisa mengobarkan semangat orang-orang di sekitarnya.

Pertengahan tahun 2007 hingga 2010 menjadi masa-masa indah ibu karena beliau berhasil membakar semangat dalam jiwa dan pikirannya. Meski masih belum mampu berjalan, ibu sudah bisa  bangun dari tempat tidur dan beraktivitas selayaknya orang sehat. Dengan posisi njengkeng, ibu mampu menyiapkan kue pisang dan sup susu yang selalu jadi favorit keluarga, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang selama ini hanya menjadi mimpi. Bahkan ketika aku memutuskan menikah tahun 2008, ibu yang memesan semua kebutuhan pernikahanku hanya lewat telepon. Suara ibu yang mantap membuat setiap orang yang datang ke rumah dan melihat kondisi ibu tidak akan menyangka kalau ibu tidak bisa berjalan. Ibu mendapatkan kondisi terbaiknya itu tanpa obat, tanpa terapi, ibu hanya melakukan sugesti positif setiap hari dalam pikirannya, bahwa ia bisa, pasti bisa melakukan apa yang ingin dilakukannya.

Sayangnya, kondisi emas tersebut harus berhenti saat ibu terpeleset di kamar mandi pada lebaran 2010. Kondisi ibu kembali melemah bahkan jauh lebih parah dari serangan sebelumnya. Tidak ada lagi kue pisang dan sup susu yang selalu dibuatnya saat aku pulang ke rumah. Hidup terus berlanjut, roda berputar naik turun. Bapak yang sudah tak muda lagi mulai kalah dengan usianya dan tidak mampu memberi nafkah yang cukup bagi kedua istrinya. Uang pensiunan ibu sebagai guru dikurangi dengan cicilan utang bank juga lama-kelamaan tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Atas saranku, ibu menjual rumah yang telah ditempatinya selama 23 tahun itu dan membeli rumah di Semarang yang dekat dengan seluruh keluarga besar. Memang keputusan yang sangat berat, rumah tersebut merupakan bukti kejayaan bapak dan ibu, bukti cinta dan banyak lagi kenangan yang tersimpan, namun hidup terus berlanjut. Dengan kondisi ibu tersebut, aku memutuskan untuk tinggal bersama ibu dan melakukan apa yang pernah kulewatkan. Untungnya suami pun memberi ijin dan lebih senang tinggal bersama ibu daripada tinggal di rumah peninggalan keluarganya.

Ternyata ujian belum berhenti, sepertinya Tuhan menginginkan ibu terus ‘naik kelas’ sepanjang tahunnya. Secara beruntun sejak tahun 2011 hingga 2014, orang-orang tercinta di sekeliling kami berpulang ke rumah Allah. Mulai dari kepergian eyang putri dan bapak pada bulan Februari dan Maret 2011, disusul kepergian Tyas, putri bungsu ibu sekaligus adik kandungku satu-satunya pada bulan Februari 2013, dan kemudian kepergian Eyang Kakung pada bulan Maret 2014. Kepergian demi kepergian tersebut mengikis emosi ibu, antara percaya dan tidak percaya, antara rela dan tidak rela. Namun kejadian demi kejadian itu tidak melemahkannya, justru semakin menguatkannya. Ibu selalu percaya Tuhan menurunkan setiap hambanya di dunia dengan tugas yang berbeda-beda, dan tugas ibu di dunia belum selesai.

Ibu bersama Cucu Tersayang
Ya, tugas ibu memang belum selesai. Meski hanya lewat pembaringan dan tubuhnya yang kaku, suaranya dan wejangannya masih kubutuhkan. Setiap hari ibu mengingatkanku untuk tak lupa beribadah, menyentilku saat kesabaranku mulai habis menjalani rutinitas sebagai ibu dari seorang putri kecil berusia tiga tahun yang sedang aktif-aktifnya dan sebagai anak yang harus selalu siap sedia ketika ibu membutuhkan bantuanku. Ibu juga selalu menjadi sosok mertua yang sempurna untuk suamiku yang sedari kecil tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Darinya aku belajar banyak hal; kesabaran, kekuatan, ketulusan, kepercayaan, keikhlasan dan kepasrahan pada sang penulis takdir.

Terkadang terbersit iri melihat beberapa orang teman yang bisa plesir dengan nyaman, bisa sekolah lagi ke luar negeri, berfoto dan tersenyum lebar di ujung berbagai negara. Sedang aku harus terpatok kaku di tempat ini, di sebuah rumah mungil bersama ibu dan keluarga kecilku, mengubur impian-impian yang dulu membara. Namun ibu membuatku tersadar bahwa inilah hartaku yang paling berharga, yang tak ternilai apapun. Mungkin aku tidak bisa memberikan ibu materi seperti yang teman-temanku berikan pada ibu  mereka, namun aku mempunyai banyak waktu bersama ibu untuk sekedar bercerita, berbagi beraneka ragam info dan tertawa bersama. Dan momen inilah yang kini kunikmati, karena aku tahu aku harus selalu siap kapanpun momen ini terhenti. Kini aku hanya ingin hidup bersama ibu seribu tahun lagi, melihatnya sehat kembali dan membantunya meraih mimpi untuk membangun rumah singgah dan perpustakaan mini. Semoga doa-doa ini diijabah oleh-Nya.

Ibu, apapun dan bagaimanapun keadaanmu, engkaulah yang telah mengukir jiwaku, dan mengukir semangatku. Terima kasih telah menjadi ibuku, terima kasih telah menjadi pelita di setiap aku merasakan hidup begitu gelap dan tak tahu harus melangkah kemana. I love you, bu.



Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera

7 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  2. mbak ririt tabah dan tegar ya merawat ibunya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah sewajarnya mbak... karena tanpa ibu saya juga nggak akan ada :) Minta doanya saja ya mbak :)

      Delete
  3. Terima kasih pakdhe... profil penulis dan persetujuan untuk dibukukan sudah saya emailkan, sudah join grupnya juga. Akhirnya bisa sebuku juga dengan pakdhe. Alhamdulillah. :)

    ReplyDelete
  4. luar biasa, itu saya ucapkan. Buat Mbak dan juga buat ibunya. semoga selalu sabar dan kuat ya, buat mbak dani obunya, karena saya tahu pastilah tidak mudah bagi yang diuji dengan penyakit, dan bagi yang diuji juga merawat orang sakit. insha Allah balasannya itu luar biasa, berkah dunia akhirat :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. insya Allah mbak.. terima kasih mbak sudah mampir, terima kasih juga untuk doa2nya.. aamiin ya rabbal 'alamiin :)

      Delete
  5. Mbak Ririt, maa syaa Allah. Demi kepentingan menulis kisah inspiratif, aku ngubek2 berbagai sumber. Aku ingat mbak ririt pernah kirim contoh di wag rumbel literasi media, baru sempat aku baca sekarang. Dan, aku nangis bombai, mengalir, huhuhuhu.
    Semoga diberikan yang terbaik untuk ibu dna keluarga.

    ReplyDelete